Eskalasi Pengikut Hamas di Telegram dan Tantangan Konten Teroris
Kanal Telegram milik kelompok militan Palestina, Hamas, mengalami peningkatan pengikut setelah serangan terhadap Israel. Salah satu akun milik Brigade al-Qassam, unit bersenjata Hamas, di Telegram mengalami peningkatan pengikut hingga tiga kali lipat dan peningkatan sepuluh kali lipat dalam jumlah penayangan video dan konten.
Raksasa teknologi seperti Meta dan Google telah melarang akun Hamas, tetapi Telegram memutuskan untuk tetap mengizinkan kelompok tersebut menggunakan layanannya. Uni Eropa juga membuka penyelidikan terhadap Telegram terkait disinformasi dan konten ilegal tentang konflik Israel dan Palestina di platformnya.
Saluran Telegram milik Brigade al-Qassam yang awalnya memiliki sekitar 200 ribu pengikut, kini mengalami peningkatan lebih dari tiga kali lipat. Saluran lain yang mengunggah pesan video dari juru bicara Hamas juga mengalami lonjakan pengikut. Namun, popularitas Telegram di kalangan kelompok ekstremis internasional dan sayap kanan di Amerika Serikat juga mengkhawatirkan.
Para penyebar teori konspirasi pemilu mulai menggunakan Telegram setelah mereka dikeluarkan dari platform lain. Meskipun bukan semua pengikut adalah pendukung Hamas, Telegram dapat menjadi alat propaganda yang efektif.
Caitlin Chin-Rothmann, peneliti teknologi di lembaga kajian Center for Strategic and International Studies (CSIS), mengungkapkan bahwa platform media sosial tidak siap menghadapi gempuran misinformasi selama konflik Hamas-Israel. Hamas memanfaatkan situasi ini dengan memasang gambar kekerasan eksplisit di Telegram dan platform lainnya.
Untuk mengatasi masalah ini, perusahaan teknologi perlu meningkatkan sistem moderasi konten dan pelaporan pengguna, memahami budaya dan bahasa yang beragam, serta meningkatkan pengawasan secara keseluruhan.
Tinggalkan komentar
Alamat email kamu tidak akan ditampilkan
Komentar (0)