Dampak Perbedaan Ekonomi dan Teknologi Terhadap Bencana Iklim di Negara Miskin
Perbedaan ekonomi dan teknologi memiliki dampak yang signifikan terhadap bencana iklim, terutama dalam hal kekeringan dan banjir, lebih terasa di negara-negara miskin dan berkembang dibandingkan dengan negara maju.
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati, menyatakan bahwa kesenjangan yang lebar dalam kapasitas sosial-ekonomi dan teknologi berdampak besar pada ketangguhan dalam beradaptasi dan memitigasi dampak perubahan iklim, terutama terkait dengan krisis air, pangan, dan energi.
Menurut laporan dari Organisasi Meteorologi Dunia (World Meteorological Organization/WMO), sekitar 60 persen kerugian bencana di negara maju disebabkan oleh perubahan iklim, tetapi dampaknya terhadap produk domestik bruto (PDB) negara maju hanya sekitar 0,1 persen.
Sebaliknya, di negara berkembang, dampaknya lebih besar. Dwikorita menjelaskan bahwa hanya 7 persen bencana iklim dapat menyebabkan kerugian hingga 5–30 persen terhadap PDB. Bagi negara kepulauan, 20 persen bencana dapat berakibat kerugian hingga 50 persen PDB mereka, bahkan dalam beberapa kasus hingga 100 persen.
Situasi ini semakin memperdalam kesenjangan ekonomi, yang berdampak pada tingkat kesejahteraan dan ketangguhan masyarakat dalam menghadapi perubahan iklim.
Dwikorita menyatakan bahwa Indonesia memiliki kemampuan teknologi yang baik, ditambah dengan kearifan lokal budaya masyarakat, yang dapat membantu mengurangi kesenjangan ini.
Meskipun demikian, kerugian ekonomi akibat kejadian ekstrem cuaca, iklim, dan air terus meningkat. Hal ini menunjukkan perlunya mengantisipasi bencana iklim yang lebih besar mengingat tren kenaikan suhu yang terus berlangsung.
Menurut Dwikorita, kenaikan suhu bisa mencapai 3,5 derajat Celsius di akhir abad ke-21, yang akan mengakibatkan frekuensi dan intensitas bencana lebih tinggi. Oleh karena itu, perpaduan teknologi dan kearifan lokal dianggap sebagai solusi untuk mengatasi kesenjangan kapasitas dan ketangguhan negara dalam menghadapi krisis air akibat perubahan iklim.
Ia juga berharap bahwa World Water Forum (WWF) di Bali pada Mei 2024 akan menjadi momentum kolaborasi untuk menutup kesenjangan antar bangsa dalam menghadapi perubahan iklim.
Tinggalkan komentar
Alamat email kamu tidak akan ditampilkan
Komentar (0)